Kita Punya Banyak Masjid, Tapi Sudahkah Kita Punya Peradaban?

Apa yang terjadi jika masjid kembali menjadi pusat pendidikan, ekonomi, dan sosial umat — bukan hanya tempat sholat semata, melainkan tempat lahirnya solusi bersama?
Ada satu kalimat yang sering kita dengar sejak kecil: “Bangsa yang besar lahir dari peradaban yang agung.” Namun kita jarang bertanya, dari manakah peradaban itu bermula? Dari istana? Dari kampus? Dari pasar? Tidak. Dalam sejarah Islam, peradaban agung selalu lahir bukan dari gedung megah, tetapi dari tempat yang paling sederhana — dari masjid.
Masjid adalah rumah pertama bagi peradaban kita. Di sanalah air wudhu membersihkan bukan hanya anggota tubuh, tetapi juga niat. Di sanalah kita belajar berdiri sejajar, tanpa kasta, tanpa pangkat. Di sanalah kita menyebut nama Allah sebelum menyebut rencana, menundukkan kepala sebelum mengangkat cita-cita. Andai masjid kembali menjadi pusat kehidupan, mungkin wajah umat ini akan berbeda sama sekali.
Sejarah telah mencatatnya. Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau tidak lebih dulu membangun pasar atau benteng. Yang pertama didirikan adalah masjid. Dari bangunan sederhana itulah beliau mendidik umat, menyusun strategi ekonomi, memperbaiki hubungan sosial, hingga merancang keputusan politik. Di sana para sahabat belajar Al-Qur’an, bermusyawarah, menyelesaikan konflik, bahkan menyusun kekuatan militer. Masjid bukan hanya tempat sujud — ia adalah pusat peradaban.
Lihat pula bagaimana Umar bin Khattab dan para khalifah setelahnya memimpin. Setiap wilayah baru yang ditaklukkan bukan langsung dibangun istana, tetapi lebih dulu dibangun masjid. Karena mereka tahu: jika masjid hidup, masyarakat akan hidup. Kekuasaan tanpa masjid hanya melahirkan penguasa. Tapi kekuasaan yang berawal dari masjid melahirkan pemimpin.
Contoh paling megah datang dari Istanbul. Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel, tidak sekadar memimpin pasukan dengan pedang, tetapi memimpin umat dari mimbar masjid. Setelah kota itu ditaklukkan, yang pertama ia lakukan adalah menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid. Bukan karena ambisi politik, tetapi karena keyakinan: peradaban hanya akan kokoh jika masjid berdiri di pusatnya.
Jika kita berpindah ke tanah air, kita akan melihat pola sejarah yang sama. KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah bukan dengan membangun kantor, tetapi dengan menghidupkan masjid dan langgar. Ia mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an sambil mengajarkan ilmu umum. Ia mengubah masjid menjadi sekolah, lembaga sosial, dan pusat pemberdayaan. Dari masjid, lahirlah gerakan dakwah modern yang mencerdaskan bangsa.
Begitu pula KH. Hasyim Asy’ari. Beliau mendirikan Nahdlatul Ulama bukan dari ruang rapat hotel, tetapi dari masjid dan pesantren. Di sana para santri belajar fikih, tetapi juga belajar cinta tanah air. Di sana lahir resolusi jihad, di sana lahir semangat kemerdekaan. Masjid menjadi sumber keberanian spiritual sebelum menjadi sumber kekuatan fisik. Dua tokoh besar yang berbeda pendekatan, namun sama-sama memulai kebangkitan dari tempat yang sama: masjid.
Lalu, bagaimana dengan kita hari ini? Ironisnya, jumlah masjid di negeri ini sangat banyak — bahkan Indonesia disebut negara dengan masjid terbanyak di dunia. Namun banyak di antaranya hanya ramai saat sholat Jumat atau hari raya. Selebihnya sunyi. Masjid ada, tapi belum menjadi pusat solusi. Kita sering bertanya, “Apa yang bisa masjid berikan untuk kita?” Padahal pertanyaan yang paling benar adalah, “Apa yang bisa kita lakukan agar masjid kembali hidup?”
Mari kita ubah cara pandang kita. Masjid bukan hanya tempat ritual — ia harus kembali menjadi pusat pendidikan, tempat anak-anak belajar bukan hanya membaca, tetapi juga beradab. Masjid harus menjadi pusat ekonomi, tempat orang kaya merasa aman menitipkan amanah dan orang miskin merasa terhormat menerima bantuan. Masjid harus menjadi pusat sosial, tempat tetangga saling mengenal sebelum saling curiga. Masjid harus menjadi pusat budaya, tempat seni diarahkan kepada ketakwaan. Bahkan nilai-nilai politik pun harus lahir dari masjid — bukan politik perebutan kekuasaan, tetapi politik kemaslahatan.
Kita tidak perlu menunggu program besar pemerintah. Kebangkitan peradaban bisa dimulai dari skala terkecil. Mulai dari RT, RW, desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, provinsi hingga nasional — semua bisa dimulai dari satu langkah sederhana: hadiri masjid bukan hanya saat adzan. Datanglah untuk belajar, berdiskusi, membantu, menyumbang ide, menghidupkan suasana. Ajak anak, sahabat, tetangga. Jadikan masjid bukan hanya tempat singgah, tetapi tempat pulang.
Karena jika masjid hidup, maka masyarakat akan hidup. Jika masjid kuat, maka bangsa akan kuat. Dan jika peradaban Islam ingin bangkit kembali — maka kebangkitannya harus dimulai dari masjid.
Mari rapatkan shaf, kuatkan ukhuwah, dan hidupkan peradaban — dari masjid untuk masa depan umat.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Sekretariat DKM Masjid Agung Kota Sukabumi
Jl. A. Yani No. 55 Kota Sukabumi
(0266) 220035 – 0858 4613 9243
Email: masjidagungsukabumi@gmail.com
Instagram: masjidagung.smi
Donasi lebih mudah, yuk scan QRIS nya:

Download APP Masjid Agung Kota Sukabumi
klik disini